Siapkan Kocek Lebih di 2022 ya Bund, Harga LPG-Listrik Naik!

bekasiurbancity.co.id - Di penghujung tahun ini terdapat sejumlah kabar yang mungkin kurang mengenakkan, terutama bagi ibu rumah tangga yang harus mengatur pengeluaran biaya kebutuhan hidup sehari-hari.

Pasalnya, sejumlah biaya energi pada 2022 diperkirakan akan mengalami kenaikan. Mulai dari harga Liquefied Petroleum Gas (LPG), Bahan Bakar Minyak (BBM) terutama dengan rencana penghapusan bensin Premium (RON 88), hingga tarif listrik untuk golongan pelanggan non subsidi pada 2022 ini dikabarkan akan naik.


Kenaikan biaya energi juga dipicu semakin pulihnya kondisi perekonomian, serta meningkatnya harga komoditas, seperti minyak mentah dan gas.


LPG non subsidi misalnya, pada akhir tahun 2021 ini PT Pertamina (Peresero) selaku badan usaha niaga LPG resmi menaikkan harga LPG non subsidi di antara kisaran Rp 1.600-Rp 2.600 per kilo gram (kg), disesuaikan per daerah.


Dari hasil penelusuran CNBC Indonesia melalui Pertamina Call Centre 135, diketahui bahwa misalnya, untuk harga LPG tabung 12 kg senilai Rp 163 ribu atau Rp 13.584 per kg untuk wilayah Jakarta tepatnya Jakarta Selatan.


Untuk wilayah Depok misalnya juga sama atau LPG tabung 12 kg senilai Rp 163 ribu. Sementara itu, untuk di wilayah yang sama, harga LPG tabung 5,5 kg dibanderol senilai Rp 76 ribu atau Rp 13.900 per kg.


Pjs Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Sub Holding Pertamina Commercial & Trading, Irto Ginting meyebutkan, bahwa penyesuaian harga LPG non subsidi yang dilakukan oleh Pertamina ini untuk merespon tren peningkatan harga Contract Price Aramco (CPA) LPG yang terus meningkat sepanjang tahun 2021.


Pada November 2021 mencapai US$ 847 per metrik ton, harga tertinggi sejak tahun 2014 atau meningkat 57% sejak Januari 2021.


"Penyesuaian harga LPG non subsidi terakhir dilakukan tahun 2017. Harga CPA November 2021 tercatat 74% lebih tinggi dibandingkan penyesuaian harga 4 tahun yang lalu," ungkap Irto kepada CNBC Indonesia, Senin (27/12/2021).


Meski untuk LPG subsidi tabung 3 kg saat ini tidak mengalami kenaikan harga, namun pemerintah juga mengindikasikan akan menaikkan harga LPG 3 kg di pasaran dengan cara mengubah skema pemberian subsidi LPG.


Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berkomiten untuk mengubah skema subsidi LPG 3 kg dari yang saat ini sifatnya terbuka, menjadi subsidi langsung tertutup berbasis data penerima manfaat.


Kepala Pusat Kebijakan APBN, Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan, Ubaidi Socheh Hamidi menyampaikan bahwa pemerintah berkomitmen untuk terus memperbaiki aspek ketepatan sasaran penerima subsidi LPG 3 kg.


"Berdasarkan hasil pembahasan APBN 2022 dengan DPR, disepakati bahwa pada tahun 2022 Pemerintah akan melaksanakan transformasi subsidi LPG Tabung 3 Kg dari subsidi berbasis komoditas menjadi subsidi berbasis orang (target penerima)," ungkap Ubaidi kepada CNBC Indonesia, Rabu (29/12/2021).


Ubaidi menyatakan, distribusi LPG tabung 3 kg bersubsidi yang saat ini masih bersifat terbuka, sehingga seluruh golongan masyarakat dapat mengakses komoditas bersubsidi tersebut.


Imbasnya, dalam pelaksanaannya, subsidi LPG belum tepat sasaran, serta belum efektif dalam menurunkan kemiskinan dan ketimpangan mengingat sekitar 75% dari anggaran subsidi LPG masih dinikmati oleh masyarakat kelas menengah ke atas.


Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menilai, kebijakan penerapan subsidi LPG secara tertutup menjadi momentum di tengah kenaikan harga LPG non subsidi oleh PT Pertamina (Persero).


Dengan harga LPG non subsidi saat ini sudah naik, dan untuk menghindari terjadinya pergeseran atau migrasi pengguna tabung LPG non subsidi ke LPG subsidi, maka menurutnya perubahan skema LPG subsidi ini harus dilakukan secepatnya, sehingga di pasaran tidak ada disparitas harga LPG.


"Disparitas harga yang besar itu membuat adanya potensi migrasi. Karena memang untuk pembelian LPG subsidi saat ini pembeliannya tidak dibatasi," terang Abra.


"Pemerintah harus mempercepat reformasi subsidi LPG 3 kg mengingat volume penyaluran LPG 3 kg bersubsidi terus meningkat dari 6,9 juta MT pada 2019 menjadi 8 juta MT pada 2022 mendatang, atau naik 15,9%," terang Abra.


Pemerintah kembali berencana menghapuskan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis bensin Premium pada 2022 mendatang. Namun, ini masih menunggu persetujuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui disahkannya Peraturan Presiden.


"Premium tahun depan sudah tidak ada. Tunggu Perpres keluar," ungkap sumber CNBC Indonesia, dikutip Senin (20/12/2021).


Rencana ini pun dipertegas oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Direktur Pembinaan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Soerjaningsih mengatakan bahwa pemerintah secara serius terus berupaya memperbaiki kondisi lingkungan dengan mendorong penggunaan BBM yang ramah lingkungan.


Menurutnya, Indonesia kini memasuki masa transisi di mana BBM RON 90 atau dikenal dengan merek Pertalite akan menjadi bahan bakar antara menuju BBM yang ramah lingkungan.


"Kita memasuki masa transisi di mana Premium (RON 88) akan digantikan dengan Pertalite (RON 90), sebelum akhirnya kita akan menggunakan BBM yang ramah lingkungan," ungkap Soerjaningsih dalam Focus Group Discussion (FGD) tentang Kegiatan Penyediaan dan Pendistribusian BBM dan LPG PT Pertamina (Persero) di Bogor, Senin (20/12/2021), seperti dikutip dari keterangan resmi pekan lalu.


Soerja menginformasikan, Premium atau bensin RON 88 saat ini hanya digunakan oleh tujuh negara. Volume yang digunakan pun sangat kecil. Kesadaran masyarakat menggunakan BBM dengan kualitas yang lebih baik, menjadi salah satu penyebabnya.


Lebih lanjut Soerja mengungkapkan, pemerintah tengah menyusun roadmap BBM ramah lingkungan di mana nantinya Pertalite juga akan digantikan dengan BBM yang kualitasnya lebih baik.


"Dengan roadmap ini, ada tata waktu di mana nantinya kita akan menggunakan BBM ramah lingkungan. Ada masa di mana Pertalite harus dry, harus shifting dari Pertalite ke Pertamax," katanya.


Proses shifting Pertalite ke Pertamax ini juga menjadi salah satu bahasan FGD agar peralihan ini tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.


"Sehingga kita juga mencermati volume Pertalite yang harus disediakan untuk masyarakat," tambah Soerja.


Perubahan dari Premium ke Pertalite akan mampu menurunkan kadar emisi CO2 sebesar 14%, untuk selanjutnya dengan perubahan ke Pertamax akan menurunkan kembali emisi CO2 sebesar 27%.


Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati pun akhirnya buka suara terkait rencana penghapusan bensin Premium pada 2022 ini.


Nicke mengatakan, rencana tersebut akan dilakukan secara bertahap dengan sejumlah pertimbangan.


Nicke mengungkapkan rencana itu sesuai dengan ketentuan yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P20/Menlhk/Setjen/Kum1/3/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang.


"Ketentuan dari Ibu Menteri KLHK 2017, ini untuk mengurangi karbon emisi maka direkomendasikan BBM yang dijual minimum RON 91," ungkap Nicke di Istana Wakil Presiden, kemarin, Selasa (28/12/2021).


Menurutnya, kini kesadaran masyarakat untuk menggunakan BBM yang lebih berkualitas dan lebih ramah lingkungan semakin tinggi. Terlihat dari penyerapan bensin Premium oleh masyarakat yang semakin menurun dan emisi karbon yang bisa semakin ditekan.


"Kesadaran masyarakat untuk menggunakan BBM yang lebih ramah lingkungan ini meningkat. Selama Juni 2020 sampai dengan hari ini karbon emisi yang berhasil kita turunkan adalah 12 juta ton CO2 ekuivalen," tuturnya.


Tahapan berikutnya, sambung Nicke, perseroan tidak akan serta merta menghapus Pertalite. Namun, perseroan akan melanjutkan edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menggunakan BBM yang ramah lingkungan dan lebih baik untuk mesin.


"Pertalite masih ada di pasar tapi kami mendorong untuk menggunakan yang lebih baik atau Pertamax agar kita bisa berkontribusi terhadap penurunan karbon emisi," ujarnya.


Berdasarkan data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), penyerapan bensin Premium selama Januari hingga November 2021 sebesar 3,41 juta kilo liter (kl) atau hanya sekitar 34,15% dari kuota Premium pada tahun ini sebesar 10 juta kl.


Adapun proyeksi sampai akhir tahun diperkirakan hanya bertambah sekitar 248 kl. Dengan demikian proyeksi konsumsi bensin Premium oleh masyarakat sepanjang tahun ini juga diproyeksi hanya sekitar 34,15% dari kuota 10 juta kl tahun ini.


Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman menyampaikan saat ini sudah ada beberapa daerah yang sudah tidak menggunakan bensin Premium. Daerah tersebut hanya menggunakan bensin Pertalite dan Pertamax Series.


"Pada umumnya Jawa dan Bali," terang Saleh kepada CNBC Indonesia, Jumat (24/12/2021).


Seperti diketahui, harga bensin Pertalite saat ini masih dipatok sebesar Rp 7.650 per liter dan Pertamax Rp 9.000 per liter. Harga bensin yang dijual Pertamina ini masih jauh lebih rendah dibandingkan kompetitornya, seperti Shell yang menjual bensin RON 92 dengan merek Shell Super atau setara Pertamax kini dengan harga Rp 12.860 per liter. Untuk harga keekonomian Pertalite kini pun disebutkan seharusnya telah mencapai di atas Rp 11.000 per liter, seiring dengan meningkatnya harga minyak sejak awal tahun.


Pemerintah dan Badan Anggaran DPR RI juga sepakat untuk menerapkan kembali tarif penyesuaian atau tariff adjustment bagi pelanggan non subsidi PT PLN (Persero). Imbasnya, ini bisa berdampak pada kenaikan tarif listrik bagi 13 pelanggan non subsidi pada 2022.


Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana.


Rida mengatakan, penyesuaian tarif ini bakal dilakukan jika situasi pandemi Covid-19 membaik.


"Tahun 2022 apakah akan diterapkan tariff adjustment? Jadi kita sepakat dengan Banggar kalau sekiranya Covid-19 membaik ke depan mudah-mudahan, kita bersepakat dengan DPR dengan Banggar kompensasi tariff adjustment diberikan enam bulan saja, selanjutnya disesuaikan," papar Rida kepada CNBC Indonesia, Senin (29/11/2021).


Tariff adjustment merupakan tarif listrik bagi 13 golongan pelanggan non subsidi PT PLN (Persero). 


Mestinya tarif listrik bagi pelanggan non subsidi ini berfluktuasi, bisa naik dan bisa turun setiap tiga bulan disesuaikan dengan setidaknya tiga faktor, yakni nilai tukar (kurs), harga minyak mentah (ICP), dan inflasi.


Apabila tiga faktor dan asumsi ini meningkat, maka seharusnya tarif listrik non subsidi juga ikut dinaikkan, menyesuaikan realisasi ketiga faktor tersebut. Begitu juga sebaliknya, bila ketiga faktor itu menurun, maka tarif listrik pun bisa turun.


"Artinya, bahkan saya sendiri saat ini seolah-olah dapat subsidi listrik dari negara. Agak malu ya, tapi faktanya seperti itu," lanjutnya.


Lebih lanjut Rida mengatakan, pemerintah sebenarnya telah memberlakukan tariff adjustment ini sejak 2015, namun menahannya sejak 2017. Daya beli masyarakat yang masih rendah menjadi pertimbangan ditahannya tariff adjustment sejak 2017 ini.


Karena tariff adjustment ini ditahan, maka akibatnya pemerintah harus memberikan kompensasi kepada PT PLN (Persero) atas selisih Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik atau tarif keekonomian dengan tarif yang dipatok pemerintah bagi pelanggan non subsidi.


Ke depan, imbuhnya, akan ada review dari tariff adjustment ini. Dalam menentukan tariff adjustment ini, menurutnya banyak pihak yang terlibat karena ini akan berdampak ke inflasi, dan lainnya.


"Tapi kita, kami sebagai Dirjen, siapkan asumsi dana dan skenario, keputusan tentu saja ke pimpinan," tegasnya.


Rida menjelaskan, saat ini PLN memiliki 38 golongan pelanggan. Sebanyak 25 golongan mendapatkan subsidi dan 13 golongan atau 41 juta pelanggan tidak mendapatkan subsidi.


Sebanyak 13 golongan pelanggan non subsidi inilah yang selama ini tarif listriknya tidak diubah pemerintah, sehingga pemerintah harus memberikan kompensasi kepada PT PLN (Persero) saat terjadi perubahan kurs, ICP, dan inflasi.


Oleh karenanya, dengan skema tariff adjustment ini, kenaikan tarif listrik diperkirakan mulai naik dari Rp 18 ribu hingga Rp 101 ribu per bulan sesuai dengan golongan.


"Kalau diubah, itu naiknya Rp 18 ribu per bulan (900 VA), 1.300 VA naiknya Rp 10.800 per bulan. Lalu, kemudian yang R2 (2.200 VA) itu mungkin naiknya Rp 31 ribu per bulan. R3 (3.300 VA) naiknya Rp 101 ribu per bulan. Nah seterusnya," tutur Rida dalam Rapat Kerja di Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Rabu (7/4/2021).